Kisah dibalik Suksesnya Sekdes Desa Menceh Kabupaten Lombok Timur - NTB

1

            Muhammad Yasin, S.Pd, adalah Sekertaris Desa Menceh yang mengawali karir beliau dengan berbagai suka duka. Belau menceritakan kisahnya, dengan harapan semoga menjadi inspirasi bagi generasi muda bangsa. 

Inilah kisah selengkapnya :


Saya adalah anak ke-6 dari enam bersaudara. Saya mulai kisah saya dari saya masuk SMA pada tahun 2004. Pada tahun 2004 saya masuk SMAN 1 Labuhan Haji, saati itu keluarga saya tampak biasa saja seperti keluarga-keluarga petani lain, karena kedua orang tua saya adalah petani dan kadang menjadi buruh harian lepas. Namun  setelah beberapa bulan saya sekolah bapak saya didiagnosa menderita penyakit kencing manis dan mulai saat itu beliau terus mendapat perawatan baik secara medis maupun secara tradisional namun tidak ada perubahan malahan berat badan beliau terus mengalami penurunan karena beliau menderita kencing manis kering, dari sinilaj mulai terasa sekolah saya terganggu dari segi keuangan karena harus membagi keuangan untuk berobat bapak dan sekolah saya.

            Namun semua itu saa lalui dengan sabar dan berharap bapak saya bisa sembuh da nada yang membantu ibu saya mencari uang untuk sekolah dan membayar uang kos karena pada waktu SMA saya ngekos di Labuhan Haji dan dalam satu minggu saya punya jatah belanja Rp. 10.000 (Sepuluh Ribu Rupiah) dan harus dibagi untuk membeli minyak tanah, sabun mandi dan cuci, lauk masak dan ongkos pulang, bahkan saya harus pulang dari kos jalan kaki karena tidak punya ongkos pulang.

            Masa-masa SMA saya lalui dengan penuh kekurangan dan seadanya, akan tetapi saya selalu berprinsip bahwa Allah SWT sudah menyiapkan sesuatu yang lebih baik setelah cobaan-cobaan dapat saya lalui, sampai saya lulus SMA keadaan tidak ada yang berubah bahkan semakin sulit dan keadaan ekonomi keluarga saya semakin terpuruk, sehingga saya yang dulu sebalum masuk SMA dijanjikan akan melanjutkan kuliah ke Yogyakarta tapi keadaan bapak yang semakin parah menyebabkan, jangankan kuliah ke Jogja, kuliah di Lombok saya tidak mampu, dan pada suatu ketika ada paman saya telpon dari Malaysia ke kakak saya dan katanya dia akan kirim ongkos untuk kakak saya dan satu orang lainnya yang meu berangkat ke Malaysia dan kakak saya pun sibuk mencari orang yang mau berangkat ke Malaysia namun tidak ada yang mau dan pada akhirnya dia menawarkan pada saya untuk bisa berangkat ke Malaysia, saya pun tidak langsung menyanggupi namun perlu berdiskusi dengan kedua orang tua saya dan melakukan sholat istiharoh, semua berlangsung begitu cepat, saya ditawarkan hari minggu langsung hari senin saya menyetujui dan hari rabu berangkat karena kebetulan data kependudukan yang diperlukan  sudah ada dan ketika itu saya dan kakak saya mau masuk Malaysia dengan cara menjadi pelancong dan waktu itu kami mengurus paspornya di Pekan Baru Riau dan pada waktu itu kami berangkat dari Lombok ke Pekan Baru menggunakan pesawat.

            Sesampainya kami di Pekan Baru, proses pengurusan paspor lumayan ribet sehingga kami harus menunggu agak lama kalau tidak salah satu minggu. Dan dalam satu minggu itu saya terus membayangkan bagaimana nasib saya nanti di negeri orang dan yang menjadi pertanyaan saya pada waktu itu adalah apakah saya mampu bekerja atau tidak karena pada waktu itu saya hanyalah remaja yang tidak punya keahlian apa-apa, yang saya andalkan adalah tenaga. Namun dalam proses penantian itu saya terus mengutkan tekad saya, bahwa saya harus mencapai cita-cita bahwa keberangkatan saya adalah untuk mencari uang untuk bisa melanjutkan sekolah yakni masuk perguruan tinggi tanpa harus membebani orang tua.

            Tibalah saatnya saya dan kakak saya untuk berangkat ke Malaysia, kami akan berangkat ke Malaysia menggunakan kapal peri dari pelabuhan Dumai, perjalanan dari Pekan Baru ke Dumai memakan waktu hamper satu hari perjalanan dan sesampainya kami di Dumai terlebih dahulu kami menginap di rumah salah seorang tekong yang akan memberangkatkan kami dari pelabuhan Dumai ke pelabuhan Porklang Johor. Keesokan harinya kamipun berangkat ke tanah rantau Malaysia. Setelah sampai di pelabuhan kami disuruh naik kapal dicek dan agar bisa lolos masuk ke Malaysia di pelabuhan kami harus membayar sejumlah uang yang orang-orang dalam kapal menyebutnya dengan uang gerenty, tapi saya berfikir itu adalah uang jaminan, karena setelah kami bayar kami diberikan kembali sejumlah uang ringgit, ceritanya uang itu adalah uang yang apabila nanti dicek punya uang atau tidak tinggal jawab ada sambal menunjukkan uang tersebut lengkap dengan tikat pulang dari Malaysia setelah masa pelancongan selesai, dans etelah kami lolos dari loket pemerikasaan ada petugas kapal yang sudah menunggu untuk mengambil uang tersebut .

            Sampailah kami di Malaysia dengan heran dan masih belum percaya diri bahwa saya sudah nekad dan berani berangkat ke Malaysia namun saya harus meyakinkan diri bahwa saya kerja keras dan mengumpulkan uang untuk bisa melanjutkan sekolah. Ternyata masalah atau perjalanan kami belum selesai karena negeri Johor bukanlah  negeri tujuan kami, negeri tujuan kami adalah negeri Pahang, Jenke 8, Sungai Tekam, sehingga saya harus mencari kendaraan yang bisa mengantarkan kami kesana, kamipun mencoba mencari taksi dan menanyakan ongkosnya, ternyata terlalu mahal yakni RM. 500 (Lima Ratus Ringgit Malaysia) dan jika dirupiahkan sekitar Rp. 1.500.000 (Satu Juta Lima Ratus Rupiah) bahkan lebih sementara uang kami tidak cukup sehingga kami hanya naik taksi sampai terminal. Sesampainya kami disana dan mencari-cari tiket ke tujuan kami ternyata sudah habis dan harus menunggu sampai besok, kami pun pasrah, dalam kepasarahan kami, datanglah salah seorang kurir penjual tiket menghampiri kami dengan salah seorang supir bus, mereka menawarkan kami untuk naik bus akan tetapi kami harus mau ditempatkan di tempat ruang istirahat sopir yakni dibagian bus paling belakang karena bangku penumpang sudah penuh. Karena tidak ada pilihan lain kami menyanggupinya, kamipun naik bus tersebut. Waktu yang ditempuh dari terminal portkelang Johor ke terminal Jerantut Pahang sekitar 9 jam perjalanan dan samapilah kami di negeri tujuan.

            Untuk beberapa hari kami menginap dirumah paman yang mengirimkan ongkos dan pekerjaan pertama yang diberikan adalah mengecet rumah dan setelah beberapa hari diantarkan kesebuah kebun sawit dan di dalam kebun itu terdapat sebuah rumah kecil yang kalau dikampung saya mirip seperti rumah-rumahan sawah, saya pun melihat sekeliling rumah tersebut hati sayapun terasa sedih karena harus tinggal digubuk seperti itu dan mandi dikolam yang digali sendiri berukuran kurang lebih 1 x 1 meter dan terkadang kalau air hujan tidak turun akan berbau tidak sedap sedangkan untuk masak kami ambil air dirumah Bos namun terkadang kami pakai air kolam tersebut tapi syukurlah kakak saya memberi semangat bahwa tempat yang kami tempati termasuk sudah bagus dibandingkan ditempat lain karena kebetulan kakak saya sudah beberapa kali berangkat ke Malaysia.

            Saya pun mulai bekerja, pekerjaan pertama yang diberikan Toke/Bos adalah memasang batu bata untuk tembok rumah karena beberapa bulan pertama yakni 4 (empat) bulan saya bekerja sebagai kuli bangunan namun karena upah yang terlalu sedikit dan tidak menentu karena system pembayarannya adalah upah harian, maka setelah 4 (empat) bulan ada tawaran untuk bekerja diladang sawit tepi tetap dengan bos yang sama dengan hitungan RM.26 (dua puluh enam ringgit Malaysia) per ton. Kamipun bekerja diladang sawit yang proses panen sawitnya menggunakan pahat atau kami menyebutnya poko cop, penghasilan di lading sawit cukup meyakinkan untuk saya mengumpulkan uang untuk saya bisa melanjutkan sekolah. Semangat it uterus membara sehingga saya mematok target bahwa saya harus panen  sawit 10 ton perhari agar target cepat tercapai dan Alhamdulillah dengan semangat kerja keras dan mengutamakan kejujuran saya mulai mengumpulkan uang, tapi saying setelah 5 bulan bekerja diladang sawit keluarga di rumah telpon katanya kondisi bapak saya sakit keras dan mengharuskan saya pulang kampung. Rasa sedihpun berkecamuk antara harus pulang kampong atau tetap bekerja, namun saya dan kakak saya memutuskan untuk pulang kampong karena keadaan bapak yang semakin keritis, waktu itu saya hanya mampu mengumpulkan uang sebanyak Rp. 10.000.000 (Sepuluh Juta Rupiah) untuk kuliah dan selebihnya digunakan untuk berobat bapak, dan akhirnya saya pulang, saya masih ingat saya merayakan tahun baru 2009 diperjalanan.

            Sesampainya saya dirumah, Alhamdulillah bapak sudah bisa pulang dari rumah sakit dan melewati masa-masa keritisnya dan kebahagian dari anak rantaupun saya rasakan yakni berkumpul bersama keluarga dan pulang kampong dan hal paling menyedihkan bagi anak perantau adalah saat meninggalkan keluarga dan kampong halaman.

            Tibalah saat pendaftaran kuliah dan saya mendaftarkan diri, akan tetapi pada saat pembukaan Universitas Negeri Mataram ( UNRAM ) dan STKIP dibuka waktu itu saya belum punya uang, Karena uang yang saya kumpulkan dipakai dulu oleh keluarga untuk berusaha tanam tembakau dan pada waktu itu panennya agak terlambat sehingga pada saat panen satu-satunya Lembaga Pendidikan Tinggi yang masih membuka pendaftaran adalah Institut Agama Islam Hamzanwadi Pancor ( IAIH ) Pancor. Dan saya pun mendaftar disana. Perkuliahan pun dimulai saya melaluinya dengan penuh kesungguhan dan kesabaran, dan untuk memenuhi kebutuhan uang bensin kadang sepulang kuliah saya ngojek karena uang bensin per hari yang saya butuhkan adalah Rp. 5000 ( Lima Ribu Rupiah ), makanya kalau ada hasil ngojek saya pasti simpan untuk uang bensin dan kalau ada lebih saya gunakan untuk membuat tugas-tugas kuliah.

            Pada saat semester II (dua) awal bapak saya meninggal dunia, saya terpukul tapi apa hendak dikata itulah ketentuan Ilahi yang harus kita hadapi dengan ihklas dan sabar. Saat itu saya mulai menambah kata-kata penyemangat dalam hidup yakni meminjam prinsip pendiri NW yakni yakin, ikhlas dan Istiqomah.

            Saya melalui masa-masa kuliah dengan segala macam rintangan dan cobaan serta dengan biaya seadaanya tapi dengan tiga prinsip hidup diatas saya terus membakar semangat dan tepat pada tahun 2013 saya pun diwisuda di IAIH Pancor dengan gelar Muhammad Yasin, S.Pd.I. Namun masalah tidak selesai sampai disitu karena uang yang saya kumpulkan tidak cukup apalagi sebelum wisuda saya menikah dan pernah mencalonkan diri sebagai kepala dusun akan tetapi gagal. Sehingga saya harus menggadaikan sawah menutupi kekurangan biaya kuliah, menikah dan mencalonkan diri menjadi kepala dusun.

            Kehidupan terus berjalan, saya diminta untuk mengajar di salah satu sekolah swasta dikampung saya dan Alhamdulillah saya diizinkan, tetapi masalah belum selesai karena honor menjadi guru honorer tidak akan pernah cukup untuk menebus sawah yang sudah saya gadaikan apalagi rumah sudah banyak yang bocor. Karena saya adalah anak terakhir alhamdulilah saya diwarisi rumah orang tua dengan kondisi seadanya dan butuh segera direnovasi, belum lagi saya tidak punya sepeda motor yang layak dan itu semua tidak mungkin bisa terpenuhi kalau hanya mengandalkan gaji dari menjadi guru honorer ditambah lagi saya harus menghidupi istri, anak dan ibu saya.

            Pada akhirnya saya berdiskusi dengan ibu dan istri untuk diizinkan berangkat ke Malaysia dan Alhamdulillah mereka mengizinkan, karena kebetulan waktu itu ada pekerjaan disektor ladang sawit yang menjanjikan, saya pun berangkat ke Malaysia untuk kedua kalinya dengan beban perasaan yang begitu berat karena harus meninggalkan ibu dan anak istri tercinta apalagi waktu itu anak saya baru berumur 5 bulan, tapi semua itu harus saya jalani dan lagi-lagi saya masuk Malaysia dengan menggunakan jalur visa pelancong, karena jika menggunakan visa tenaga kerja harus menunggu lama dan lolos cek kesehatan, dan dapat dipastikan saya lolos karena semua saudara-saudara saya tidak ada yang lulus menjadi TKI resmi.

            Sampailah saya di Malaysia dan keberangkatan kedua ini yang saya tuju adalah negeri Perak Kampung Gajah, kali ini banyak sekali target yang saya harus capai diantaranya menebus sawah, membeli motor, dan memperbaiki rumah. Dan saya pun mulai satu-persatu dengan menahan rindu keluarga yang begitu besar dan bertambah karena pada saat berangkat merantau yang pertama saya hanya rindu kedua orang tua, sementara yang sekarang rindu kepada anak dan istri ditambah lagi dengan cobaan di Malaysia itu sendiri. Karena begitu saya pelajari dan pahami ternyata cobaan dinegeri rantau adalah judi, minuman dan wanita disamping kita harus hemat, hemat bukan pelit dan tetap focus dengan target, kenapa kita berangkat merantau.

            Saya pun mulai mendapatkan hasil dan mulai menebus sawah, membeli motor dan memperbaiki rumah dalam jangka waktu 15 bulan, karena alhamdulilah berkat do’a ibu saya tidak hentinya beliau panjatkan untuk saya, saya mendapatkan hasil yang sangat besar saya yakni RM. 3000 per bulan bahkan kadang lebih, yang kalau dirupiahkan menjadi Rp. 9.000.000 bahkan tergantung nulai tukar saat itu.

            Pada bulan desember saya pulang kampong dan sesampai di kampung setelah beberapa hari dirumah saya kembali meminta untuk diizinkan mengajar kembali dan syukur saya diizinkan dan setelah beberapa tahun berlalu dibukalah pendaftaran Sekdes Menceh berhubung Sekdes sebelumnya meninggal dunia. Saya pun mengikuti prosesnya dengan sungguh-sungguh dengan berbagai macam persyaratan yang harus dipenuhi dan akhirnya saya lulus menjadi Sekretaris Desa Menceh Kecamatan Sakra Timur Kabupaten Lombok Timur Provinsi Nusa Tenggara Barat dan dilantik pada tanggal 5 Agustus 2020.

            Inilah kisah hidup panjang saya yang ternyata Allah SWT memang sudah menyiapkan nikmat-nikmat terindah-Nya dibalik berbagai macam cobaan hidup yang diberikan. Yang terpenting kita harus sabar dan ikhlas oleh karena itu psinsip yaqin, Ikhlas, Istiqomah menjadi pemacu semangat hidup saya.

Post a Comment

1Comments

Please Select Embedded Mode To show the Comment System.*